Tolak Iuran Tapera, Pengusaha Sebut Harusnya Sukarela Bukan Kewajiban
Jumat, 31 Mei 2024
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani menyuarakan protes atas iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) kepada pengusaha dan pekerja. Menurutnya, seharusnya iuran tersebut tidak bersifat wajib melainkan sukarela.
Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers APINDO bersama serikat buruh menyangkut kebijakan Tapera. Shinta mengatakan, iuran sukarela itu lebih tepat untuk konsep Tapera sebagai tabungan.
"Kita bukan menggagalkan (UU dan PP) ya, sekali lagi ini kita coba merevisi dengan apa yang ada. Yang kita tolak itu adalah pembebanan iuran kepada kami, secara paksa, wajib, bukan sukarela. Kalau ini dibuat dengan konsep sukarela, kami tidak ada masalah, jadi kita bukan menolak UU dan PP-nya," kata Shinta di Kantor Apindo, Jakarta Selatan, Jumat (31/5).
Iuran Tapera diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera serta Undang-Undang No. 4 Tahun 2016.
Dalam aturan itu, gaji pekerja akan dipotong setiap bulannya sebesar 2,5% dan 0,5% ditanggung perusahaan. Ia menyatakan keberatannya apabila iuran tersebut diwajibkan untuk sektor swasta. Lain halnya bila pemerintah mau menerapkannya untuk menghimpun iuran para Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Saya rasa kalau ASN, TNI, Polri mau jalankan karena ranah pemerintah, silahkan. Mungkin bermanfaat, tapi swasta bersama-sama serikat buruh, kami menilai perlu ada pertimbangan pemerintah untuk riviu kembali dan UU-nya. Karena UU disebutkan jelas ini adalah sebuah keharusan," ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga menyoroti tentang program BPJS Ketenagakerjaan yang serupa yakni Manfaat Layanan Tambahan (MLT) sehingga dikhawatirkan tumpang tindih. Justru pengusaha sendiri mengharapkan agar program yang sudah adalah yang dioptimalkan, dibandingkan dengan menggalangkan iuran baru.
"Jadi konsep sebenarnya penyediaan rumahan JHT itu sebenarnya bagus. Cuman mengapa kita harus dibebankan tambahan iuran lagi? Padahal saat ini juga sudah ada untuk siapan melalui JHT ini, program MLT. Jadi ini yang sebenarnya mendorong kami menyikapi bahwa pada prinsipnya, kami ini bukannya against Tapera, tapi dari sisi iuran yang harus ditambahkan dan dibayarkan kembali," jelasnya.
Menurutnya, saat ini beban yang telah ditanggung pemberi kerja maupun pekerja hampir 18,24-19,74% yang terdiri atas potongan jaminan tenaga kerja, JHT, jaminan kematian, kecelakaan kerja, pensiun jaminan sosial kesehatan, hingga cadang pesangon. Karena itulah, ia menilai kalua Tapera akan memperbesar beban tersebut.
"BPJS Ketenagakerjaan kita sudah mengiur, itu ada JHT, yang 30% dananya itu sudah bisa dimanfaatkan untuk layanan tambahan, dan bisa dipakai untuk beli rumah. Programnya ini sudah jalan, dan jumlahnya juga sudah besar. Itu sudah hampir Rp 136 triliun ya, 30% dari total JHT. Jadi menurut kami, ini buat apa gitu loh ada iuran tambahan lagi, kalau ini sudah ada programnya yang bisa dioptimalkan, justru kita mau memperluas pemanfaatan MLT," kata dia.
Di samping itu, Shinta juga merasa pengusaha ataupun buruh kurang dilibatkan dan disosialisasikan sebelum kebijakan tersebut resmi ditetapkan. Hal inilah yang menurutnya membuat banyak ketidaksesuaian dengan kebutuhan di lapangan. Karena itulah, ia akan mengajukan judicial review agar aturan Tapera ini bisa ditinjau kembali.
"Saya merasa perlu ada posisi bersama untuk memberikan masukan ke pemerintah. Karena kadang-kadang pemerintah juga bingung dengan kepentingannya, dalam saat ini kepentingan kita sama, jadi inilah. Nanti kami jelas masuk memberikan lebih rinci lagi apa saja yang sebaiknya dilakukan, konsep antara pemaksaan dan sukarela. Sukarela monggo, tapi ini tidak bisa dipaksakan," ujar Shinta.
Shitan juga optimistis, masih ada celah agar usulan pengusaha hingga buruh atas iuran Tapera ini didengar. Harapannya, peninjauan kembali akan segera dilangsungkan dan hasilnya tidak memberatkan.
sumber :