Ekonomi Diproyeksikan Tumbuh +5,00% s/d +5,30% di Tahun 2023
Rabu, 21 Desember 2022APINDO memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2022 akan berkisar dari perkiraan terendah +5,30% (yoy) sampai dengan prediksi tertingginya +5,40% (yoy). Proyeksi tersebut didasarkan pada hasil pertumbuhan (yoy) yang diperoleh di Q1 (5,01%), Q2 (5,44%), dan Q3 sebesar 5,72% yang menunjukkan tren kenaikan sejak awal 2022 serta tumbuh diatas berbagai ekspektasi. Hasil pertumbuhan di ketiga kuartal tersebut memberikan pattern yang prediktif terhadap proyeksi pertumbuhan di Q4 2022 (yoy) maupun untuk keseluruhan 2022 (yoy).
Untuk tahun 2023 APINDO memperkirakan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan akan berada di kisaran +5,00% s/d +5,30% (yoy) dengan Inflasi di antara +3,60% s/d +5,00% serta rata-rata nilai tukar Rupiah terhadap USD di kisaran 15.200 – 15.800 per dolar USD. Proyeksi rentang pertumbuhan tersebut berdasarkan pertimbangan atas 3 (tiga) hal utama: pertama, pemulihan ekonomi yang berjalan cukup baik di tahun 2022, diantaranya sebagai hasil dari sejumlah program proteksi sosial dan pemulihan ekonomi nasional (PEN); kedua, sinergi kebijakan fiskal dan moneter yang tepat untuk meredam berbagai dampak dari inflasi global dan kelesuan ekonomi dunia. Ketiga, sayangnya terdapat kurang konsistennya pelaksanaan agenda reformasi struktural yang berpotensi menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif.
Pengaruh resesi global sangat nyata pada penurunan agregat permintaan ekspor produk hasil industri padat karya, diikuti dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran di penghujung tahun 2022 yang diproyeksikan akan terus berlanjut di Tahun 2023. Sejak awal semester II-2022, industri padat karya seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Alas Kaki dihadapkan pada penurunan permintaan pasar global, khususnya dari negara-negara maju. Di Industri TPT dan Alas Kaki terjadi penurunan order hingga 30 - 50% untuk pengiriman akhir tahun 2022 sampai kuartal I-2023. Kondisi ini memaksa perusahaan-perusahaan di sektor tersebut untuk mengurangi produksi secara signifikan dan berujung pada pengurangan jam kerja hingga PHK. Sebagai gambaran, berdasar laporan dari industri garmen, tekstil dan alas kaki telah terjadi PHK atas 87.236 pekerjanya hanya dari 163 perusahaan[1]. BPJS Ketenagakerjaan mencatat telah terjadi PHK terhadap 919.071 (sembilan ratus sembilan belas ribu tujuh puluh satu) pekerja yang mencairkan dana JHT (Jaminan Hari Tua) akibat PHK dari Januari-1 November 2022. Data tersebut merupakan data yang paling memadai sebagai sumber informasi yang valid mengingat setiap Pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan yang terkena PHK berkepentingan menarik dana JHT-nya, dibandingkan data PHK di Kementrian/Lembaga lainnya yang bersumber dari laporan perusahaan dimana banyak perusahaan tidak melaporkannya. Bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya tercatat PHK sejumlah 376.456 (2019), 679.678 (2020) dan 922.756 (2021), proyeksi PHK yang tersisa 2 (dua) bulan sampai akhir tahun 2022 sangat mungkin melebihi PHK tahun 2021 karena krisis ekonomi global yang sudah terjadi di penghujung tahun 2022.
Di sisi lain, penciptaan lapangan kerja terus berkurang akibat investasi padat modal dan pemanfaatan teknologi. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dalam 7 (tujuh) tahun terakhir daya serap pekerja terus mengalami penurunan hingga tidak sampai 1/3 nya[2], dari 4.594 tenaga kerja yang terserap per Rp 1 Triliun Investasi (2013) menjadi 1.340 tenaga kerja (2021). Dengan angkatan kerja 143,72 juta orang dimana 135,30 juta orang bekerja, jumlah pengangguran masih tinggi sebanyak 8,42 juta orang berdasar data BPS-Badan Pusat Statistik (Agustus 2022), tentu sangat diperlukan penciptaan lapangan kerja yang masif.
Pencari kerja dengan skills / keterampilan rendah lulusan SD dan SMP semakin tersisih dalam memperebutkan pekerjaan dari sektor usaha formal yang memiliki kepastian pendapatan. Dengan sedikitnya lapangan kerja yang tercipta dibandingkan dengan pencari kerja dan tingginya upah minimum maka kecenderengan alamiah perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan skills / pendidikan yang lebih tinggi yang bersedia dibayar dengan UMP/K. Hal itu menyebabkan pencari kerja dengan ketrampilan rendah (lulusan SD-SMP-SMA) semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
Akibatnya, bantuan sosial untuk masyarakat marjinal semakin membebani anggaran pemerintah yang menghambat pembangunan. Minimnya penciptaan lapangan kerja semakin membebani anggaran negara untuk berbagai program subsidi / bantuan sosial (bansos) yang nilainya mencapai 431,5Trilyun. Salah satu bantuan sosial yang mencakup jumlah penduduk sangat besar adalah PBI (Penerima Bantuan Iuran) kepesertaan BPJS Kesehatan oleh pemerintah pusat yang mencakup 96 juta orang, dan oleh Pemerintah Daerah yang mencakup 35 juta orang. Belum lagi jika ditambah berbagai jenis bansos lainnya seperti PKH (Program Keluarga Harapan), Subsidi Upah, Kartu Pra Kerja, dan sebagainya. Program program bansos tersebut terjadi karena minimnya penciptaan pekerjaan formal sehingga memerlukan intenvensi bantuan pemerintah untuk penghidupannya.
Semakin merosotnya daya serap tenaga kerja di sektor formal dibandingkan meningkatnya jumlah penduduk berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan gizinya. Rendahnya gizi masyarakat karena ketidakmampuan ekonomi perlu keseriusan perhatian Pemerintah untuk menjadikan Bangsa Indonesia menjadi Bangsa yang produktif. Laporan FAO (2021) menunjukkan 69,1 persen penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan bergizi. Kenyataan ini akan menciptakan beban demografi bukan bonus demografi.
Menghadapi tantangan tersebut, untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2023, Pemerintah perlu konsisten dalam menjalankan sejumlah agenda reformasi ekonomi struktural sebagaimana tercermin dalam substansi UU Cipta Kerja. Perbaikan iklim investasi dengan peningkatan daya saing melalui sejumlah reformasi struktural yang antara lain menyangkut skema perbaikan perizinan usaha, ketenagakerjaan, perpajakan, akses lahan, UMKM dan tata kelola pemerintahan menjadi harapan utama dunia usaha.
Dalam hal itu, mengenai putusan inkonstitusional bersyarat UU 11/2020 tentang Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi (MK), APINDO berharap Pemerintah Indonesia tetap dapat mengamankan substansi agenda reformasi struktural dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Namun demikian bisnis juga harus siap untuk setiap kemungkinan penyesuaian Hukum. Meskipun demikian, Dunia Usaha tidak akan berkompromi dalam beberapa masalah substansial seperti: upah minimum, pesangon, pekerja asing, outsourcing, dan jam kerja fleksibel untuk industri/keadaan tertentu pada Klaster Ketenagakerjaan.
APINDO juga mengharapkan Pemerintah agar memperbaiki implementasi perizinan usaha berbasis risiko (RBA Licensing) melalui Sistem aplikasi online single submission (OSS) dengan melakukan sinkronisasi kebijakan teknis Kementrian/Lembaga terkait, sinergi platform TI (Teknologi Informasi) dengan OSS di Daerah, dan peningkatan kompetensi SDM agar dapat menyelenggarakan pelayanan OSS dengan kualitas setara di seluruh Indonesia.
Berbagai masalah inkonsistensi kebijakan mutlak perlu ditindaklanjuti dengan cepat. Lambatnya penanganan pengaduan dari dunia usaha yang tidak menunjukkan keseriusan untuk memfasilitasi pertumbuhan industri harus segera diakhiri. Contoh, pengenaan tarif bea masuk bahan baku Almond untuk diolah di dalam negeri menjadi produk jadi, padahal Almond tersebut harus di-impor karena tidak bisa dibudi dayakan di dalam negri. Sebaliknya produk olahan Almond yang sudah diolah di luar negri justru dibebaskan bea masuknya ke Indonesia. Hal ini menyebabkan industri dalam negeri kita kalah bersaing dengan industri luar negeri yang produknya membanjiri pasar domestik. Persoalan yang sudah disampaikan lebih dari 2 (dua) tahun ini sampai saat ini belum mendapatkan solusi sehingga mengancam industri dalam negeri.
Kebijakan populis yang menghancurkan reformasi struktural jangka menengah-panjang harus dikoreksi. Sebagai contoh, penertiban Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang penetapan upah minimum tahun 2023 yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah yang berlaku (Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan). Kepastian hukum merupakan faktor utama dalam berusaha, sehingga adanya inkonsistensi dalam kebijakan pemerintah menambah kegamangan pelaku usaha dan investor dalam mengembangkan usahanya di Indonesia. APINDO mengajukan uji materi di Mahkamah Agung untuk membatalkan Permenaker 18/2022 dan mengembalikan pada PP 36/2021 terkait formula perhitungan Upah Minimum adalah dalam upaya menjaga konsistensi UU Cipta Kerja untuk perluasan lapangan kerja.
Dukungan kelembagaan harus dijalankan secara efektif dan efisien untuk menjaga momentum pemulihan di tengah ancaman resesi global. Dukungan terhadap sektor sektor usaha seperti pariwisata, retail, industri padat karya pada umumnya dan UMKM sangat penting untuk dilakukan, mengingat daya serap tenaga kerja yang besar dan potensi pengembangannya ke depan. Beberapa sektor yang telah menunjukkan realisasi pemulihan sejak awal 2022 perlu dijaga momentum pertumbuhannya agar tidak kembali terpuruk di tengah ancaman kelesuan ekonomi global 2023.
Sejumlah agenda strategis yang perlu mendapat prioritas segala sumber daya di tahun 2023 untuk mencapai target pertumbuhan 2023 setidaknya mencakup Dukungan pada Industri Padat Karya, Rencana Penerapan ODOL, Amandemen UU Kepailitan, CEPA, UKM/IKM, Pengembangan SDM, Ekosistem Digital, Stimulus Fiskal, dan Penguatan Sistem Jaminan Sosial.
- Perhatian Khusus Industri Padat Karya. Industri Padat Karya yang di tahun 2022 semakin pulih, agar mendapat perhatian khusus dari Pemerintah untuk menghindari keterpurukan kembali di 2023 dan bahkan diharapkan dapat meningkat. Produksi dan penjualan sektor padat karya jelas berkontribusi besar pada penyerapan tenaga kerja.
- Perlunya pertimbangan matang penerapan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) pada tahun 2023. Mengingat proses transisi untuk mengganti kendaraan angkut ODOL menjadi Zero ODOL memerlukan investasi yang besar dan seharusnya Pemerintah memberikan insentif berupa keringanan fiskal dan subsidi agar biaya investasi menjadi lebih terjangkau bagi sektor transportasi angkutan/logistik untuk melaksanakan investasi kendaraan angkut Zero ODOL. Tanpa insentif tersebut dikhawatirkan biaya logistik akan meningkat dan berdampak pada kenaikan inflasi.
- Amandemen UU37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sangat mendesak dilakukan amandemen UU tersebut mengingat banyak kelemahannya dan dalam implementasinya banyak disalah gunakan untuk tujuan lebih kepada mempailitkan dari pada upaya menyehatkan perusahaan.
- Percepatan CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) Indonesia – EU. Sangat diperlukan Industri Padat Karya yang kalah kompetitif dibanding industri sejenis dari negara tetangga seperti Vietnam yang sudah memiliki CEPA dengan EU. Dengan level of playing field yang sama jika memiliki CEPA, industri dalam negeri dapat berkompetisi secara setara sehingga potensial untuk meningkatkan kapasitas produksi dan penyerapan tenaga kerja.
- Dukungan pemerintah untuk pengembangan UKM / IKM agar naik kelas melalui UU Cipta Kerja dan berbagai Program agar terus dikembangkan secara konsisten. Membantu agar UKM / IKM meningkatkan daya saing dengan berbisnis secara legal agar memperluas akses finansial dan pasar, memanfaatkan platform digital, dan berorientasi global melalui pendampingan terstruktur dan terukur.
- Pengembangan Sumber Daya Manusia yang berkualitas melalui dukungan program skilling, re-skilling, dan up-skilling untuk menyesuaikan kebutuhan keterampilan yang dipersyaratkan dunia kerja di era industri 4.0. Insentif super tax deductable agar diterapkan dengan birokrasi yang lebih sederhana tanpa mengurangi akuntabilitas implementasi program agar meningkatkan pemanfaatannya oleh dunia usaha. Manfaat berbagai program pelatihan perlu diselaraskan seperti Pelatihan Reguler Kementrian/Lembaga, Kartu Pra Kerja dan Skema Pelatihan Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang perlu didukung dengan sinergi kebijakan dan kelembagaan agar tidak terjadi duplikasi dalam pemanfaatannya yang akan menjadi beban negara dan ketidakadilan.
- Penguatan Ekosistem Digital merupakan salah satu kunci utama bagi perekonomian Indonesia untuk dapat tumbuh berkelanjutan. Beberapa langkah yang dapat diupayakan untuk memperkuat ekosistem digital diantaranya adalah Mempercepat Transformasi dan Memperluas Jaringan Infrastruktur Digital, Meningkatkan Layanan Internet Murah, Percepatan dan Perluasan Literasi Digital, Penguatan Jaringan Fintech Inklusif, Optimalisasi Penggunaan Big Data dan Artificial Intelligence (AI), serta Percepatan Konektivitas Digital Antar Wilayah Di Indonesia.
- Penguatan Sistem Jaminan Sosial. Rencana perubahan mendasar pelayanan Jaminan Sosial Kesehatan dengan akan diterapkannya Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) berbasis Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) di tahun 2023 harus benar benar disiapkan dengan cermat dengan kesiapan ekosistem yang mendukungnya (Penerimaan Peserta, Fasilitas Rumah Sakit, Penyesuaian Standar Layanan, dan sebagainya), pemerintah tidak perlu memaksakan implementasinya jika kesiapannya belum memadai karena akan menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Sementara itu, program baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam Jaminan Sosial Ketenagakerjaan agar dievaluasi implementasinya untuk menilai efektifitasnya.
Sebagai catatan akhir, stabilitas sosial politik perlu terus dijaga menjelang pesta demokrasi tahun 2024. Tahun 2023 akan diwarnai dengan pemanasan suhu politik untuk memasuki kontestasi Pemilu 2024. Dunia usaha mengharapkan Partai Politik Peserta Pemilu dan Penyelenggara Pemilu 2024 melakukan pendekatan rasional sebagai edukasi bagi masyarakat untuk kemajuan bangsa dan menjauhkannya dari agitasi politik kepentingan sesaat yang membahayakan bagi demokrasi dan perekonomian.
[1] Data merupakan data sebagian anggota asosiasi APRISINDO, API, KOGA, dan APSYFI yang melaporkan sampai pertengan November 2022
[2] Data Laporan Tahunan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)