Media

Back to All News

APINDO Paparkan Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025

APINDO Paparkan Outlook Ekonomi dan Bisnis 2025

Di tengah ketidakpastian global, perekonomian Indonesia tumbuh cukup tangguh di kisaran 5% ditengah berbagai negara yang mengalami pelemahan bahkan hingga krisis pada kondisi perekonomian domestik mereka. Namun, Indonesia juga tetap harus waspada karena gejala Stagnasi Sekuler sudah terlihat pada pertumbuhan ekonomi Q-3 tahun 2024 yang hanya mampu tumbuh 4,95% (yoy).

 

Mencermati hal tersebut, APINDO memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh di kisaran 4,9% hingga 5,2% (yoy) dimana prediksi ini dibuat berdasarkan berbagai indikator seperti kondisi lingkungan strategis global yang belum stabil, inflasi global yang belum sepenuhnya terkendali, berlanjutnya penurunan kelas menengah akibat tekanan kenaikan PPN pada barang-barang tertentu, potensi layoff akibat kenaikan UMP yang tidak diimbangi dengan produktivitas, hingga berakhirnya era boom commodity (windfall) dari komoditas CPO dan batubara.

 

Berdasarkan sektoral, APINDO memprediksi pada tahun 2025 terdapat 5 key sectors dalam distribusi terhadap PDB: 1) sektor industri pengolahan, 2) pertanian, 3) perdagangan, 4) pertambangan, dan 5) konstruksi. Namun, APINDO berpendapat bahwa pertumbuhan sektor yang berhubungan dengan: 1) akomodasi makan minum, 2) administrasi pemerintahan, 3) jasa perusahaan, 4) transportasi dan pergudangan, dan 5) jasa lainnya akan mengalami degradasi akibat pemotongan biaya perjalanan dinas Pemerintah sebesar 50% yang akan memengaruhi Meeting, Incentive, Conferences, and Exhibition Event di daerah. Dunia usaha juga menyoroti dua sektor lain yang akan tumbuh dengan pesat ke depan yaitu ekonomi digital yang akan sangat dipengaruhi oleh transformasi digital dan ekspansi di e-commerce, serta sektor hijau yang dipengaruhi oleh komitmen terhadap keberlanjutan. 

 

APINDO juga memperkirakan bahwa inflasi domestik masih dapat dijaga di kisaran 2,5% dengan deviasi 1% sesuai yang ditargetkan oleh Bank Indonesia dengan melakukan substitusi komoditas energi dan mengendalikan produksi pangan melalui program ketahanan pangan. Kebijakan devisa hasil ekspor (DHE), Local Currency Transaction (LCT), SRBI, dan SVBI belum dapat menjaga nilai tukar rupiah yang diakibatkan karena Indonesia adalah negara small open economy terutama pada produk minyak, pangan, digital services, dan TIK yang perlu menjadi perhatian khusus. Maka dari itu, APINDO menilai bahwa nilai tukar rupiah selama tahun 2025 akan bergerak dalam rentang Rp15.800-Rp16.350 per dollar USD.

 

Berdasarkan hasil konsensus pasar di Amerika Serikat dan lesson learned kepemimpinan Presiden Donald Trump di periode sebelumnya maka diproyeksi The Fed akan menurunkan Fed Fund Rate sebanyak 3 kali di tahun 2025 dengan penurunan di kisaran 0,25% - 0,5%. Maka dari itu, APINDO menilai bahwa sebagai respon atas kebijakan tersebut maka Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga paling banyak 2 kali di kisaran 0,25% - 0,50% menjadi berada dalam kisaran 5,25% - 5,75%.

 

Pada sisi kebijakan fiskal, APINDO menilai Pemerintah perlu melanjutkan kebijakan konsolidasi fiskal dengan menjaga defisit 3% terhadap PDB. Defisit fiskal yang diambil oleh Pemerintah adalah sebesar 2,53% terhadap PDB, namun dalam rangka menjaga kebijakan fiskal yang berkelanjutan maka APINDO menilai defisit APBN perlu dijaga sebesar 1,5% - 1,8% dengan melakukan inovasi pembiayaan melalui skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), Pembiayaan Investasi Non-Anggaran (PINA), dan Land Value Capture (LVC). Pemerintah juga perlu melakukan eksplorasi sumber penerimaan perpajakan untuk meningkatkan tax ratio Indonesia dengan menggarap underground economy, menguatkan kebijakan core tax system, melakukan tax amnesty, menerapkan Non-Filling Systems (NFS) dan reformasi kelembagaan. 

 

Pemerintah juga perlu menciptakan driver pertumbuhan lain di luar APBN, diantaranya investasi dan ekspor yang mampu mendorong penerimaan jangka pendek, mengingat struktur APBN 2025 lebih fokus pada peningkatan pertumbuhan produktivitas jangka panjang. Meskipun demikian, APINDO juga mendorong Pemerintah dapat mempercepat realisasi belanja dari APBN dan APBD dikarenakan kedua instrumen tersebut dapat menjadi enabler bagi perekonomian nasional.

 

Dalam melihat peluang dan tantangan di tahun 2025, APINDO memberikan catatan bagi Indonesia untuk lebih mengoptimalkan pertumbuhan perdagangan di kawasan Asia yang masih menjadi kontributor utama pertumbuhan perdagangan global. Selain itu, APINDO juga mengingatkan adanya tren “China De-Risking” yang membuka peluang strategis bagi Indonesia dalam menarik investasi serta memperluas ekspor sebagai alternatif dalam Global Value Chain (GVC).

 

Saat ini, Indonesia mengalami tantangan signifikan dalam peningkatan daya beli masyarakat jelang tahun 2025 akibat deflasi yang terjadi berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Besarnya penurunan jumlah penduduk kelas menengah yang semakin besar, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024, dimana kelas menengah Indonesia berperan penting dalam mendongkrak konsumsi nasional. Hal ini akan diperparah dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025.

 

Inkonsistensi kebijakan ketenagakerjaan juga dinilai berpotensi mengancam stabilitas investasi dan lapangan kerja di Indonesia dengan pergantian regulasi ketenagakerjaan dan kebijakan pengupahan yang kurang transparan seperti penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang dinaikkan sebesar 6,5% tanpa kejelasan dasar perhitungannya.

 

Dominasi sektor informal dan rendahnya produktivitas juga berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi, dimana jumlah sektor informal mencapai 59,17% pada 2024, meningkat dari 55,88% pada 2019. Untuk itu, APINDO mendorong pemerintah untuk fokus pada upaya penyediaan lapangan kerja formal yang berkualitas di tengah dominasi sektor informal dalam struktur tenaga kerja. 

 

High cost of economy masih menjadi tantangan struktural yang menghambat daya saing Indonesia dengan masih tingginya biaya logistik, energi, tenaga kerja, dan pinjaman yang menjadikannya salah satu negara dengan biaya berusaha tertinggi di ASEAN-5. Biaya logistik, misalnya, mencapai 23,5% dari PDB, jauh lebih tidak efisien dibandingkan Malaysia (12,5%) dan Singapura (8%). 

 

Survei APINDO mencatat 61,26% pelaku usaha kesulitan mengakses pinjaman, sementara 43,05% menilai suku bunga terlalu tinggi. Di sisi lain, sekitar 64,28% perusahaan menyatakan reformasi regulasi belum menjamin kemudahan dan kepastian usaha.

 

Dengan sejumlah peluang dan tantangan yang dimiliki Indonesia saat ini, APINDO merumuskan agenda strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, diantaranya: (1) Hilirisasi komoditas di sektor-sektor strategis, (2) Penguatan UMKM secara konsisten dan terarah dengan pendekatan pentahelix, (3) Penguatan ekosistem ekonomi digital, (4) Optimalisasi sektor hijau, (5) Pencapaian Swasembada Pangan, (6) Penyederhanaan perizinan, peningkatan transparansi, dan konsistensi kebijakan dalam mendukung iklim investasi, serta (7) Optimalisasi OSS-RBA (Online Single Submission Risk Based Approach). 

 

Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan berdaya saing, Indonesia harus segera memenuhi lima prasyarat kunci, dengan 1) mendorong bauran kebijakan fiskal dan moneter yang pro-stabilitypro-growth, dan pro-poor untuk menjaga sisi demand dengan melakukan collect more dan spending better pada kebijakan fiskal serta relaksasi kebijakan suku bunga2) peningkatan efisiensi biaya usaha universal yang fokus pada pemangkasan cost of compliance dan penciptaan ekosistem biaya usaha efisien dalam memperkuat daya saing Indonesia serta membuka ruang bagi investasi strategis bagi pertumbuhan jangka panjang, 3) penciptaan lapangan kerja yang berkualitas sebagai hasil nyata realisasi investasi yang efektif dan memastikan percepatan investasi dengan mengeliminasi hambatan birokrasi, 4) peningkatan produktivitas dan kualitas SDM melalui link and match sistem pendidikan dan kebutuhan dunia industri serta reformasi pendidikan dan pelatihan vokasi pada reskilling dan upskilling, dan 5) menjadikan UMKM sebagai closeloop bagi industri yang implementasinya dimulai dari BUMN serta menciptakan insentif yang memadai bagi swasta yang melibatkan UMKM dalam aktivitas produksi dan distribusi. Hal ini harus didorong agar membuat UMKM kita naik kelas dan mendorong menjadi Global Value Chain (GVC).


 

Copied.

Berita Lainnya

No Tanggal Terbit Judul Berita
Daftar Berita
1 Tuesday, 04 June 2024 Ketua APINDO Kota Gorontalo Desak Pemerintah Pusat Kaji Ulang Terkait Tapera
2 Tuesday, 06 August 2024 Shopee Relokasi 1 Departemen ke Solo dan Jogja, Begini Respons Apindo & Pekerja
3 Sunday, 17 November 2024 Daya Beli Rendah, Apindo Bali Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12 Persen
arrow top icon